Sejarah pendidikan di Indonesia memperlihatkan bahwa jauh sebelum pendidikan formal dikenal dan dikembangkan, masyarakat telah memprakarsai dan mengembangkan praktek-praktek pendidikan yang unik dan asli. Dalam bentuk-bentuk yang “sederhana” dan “tradisional”, di berbagai suku, dan komunitas ditemukan beragam praktek pendidikan berbasis kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi mereka masing-masing. Emil Salim7 misalnya menyebut salah satu praktek bagaimana komunitas nelayan tradisional Bugis sudah memiliki metode-metode pendidikan untuk mewariskan pengetahuan tentang cara-cara menangkap ikan dan mengetahui datangnya badai kepada anak-anak mereka. Begitupula masyarakat Badui telah memiliki norma, dan tatacara pendidikan untuk mewariskan pengetahuan pengobatan tradisional. Atau beberapa suku di pedalaman Sumatera mengembangkan praktek-praktek pendidikan kelestarian dan keseimbangan lingkungan.
Praktek-praktek tersebut dijalankan sebagai metode bertahan hidup di tengah-tengah ruang dan lingkungan hidup komunitas mereka yang cepat berubah. Karena itu karakteristik utama yang melekat pada praktek pendidikan ini adalah dinamis dan berubah-ubah sesuai dengan perubahan tantangan hidup yang mereka hadapi, melekat kuat dengan kebutuhan kongkret, serta berorientasi kepada pemecahan masalah hidup keseharian mereka.
Kemudian jaman berubah. Pemerintah hadir, tampil secara hegemonik dan intervensionis dengan membawa aneka kebijakan baru yang harus dilakukan oleh warganya. Salah satu kebijakan tersebut adalah bahwa kehidupan kemasyarakatan harus lebih modern, lebih maju, dan pendidikan harus menjadi aktor utama dalam proses ini.
Dengan argumentasi ini pemerintah kemudian mengambil alih prakarsa-prakarsa pendidikan masyarakat dan menggantikannya dengan praktek-praktek pendidikan formal yang sepenuhnya berada dibawah kontrolnya. Pendidikan “tradisional” dianggap tidak bisa lagi memadai untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan modernisasi. Gedung-gedung sekolah formal, waktu itu lazim disebut “gedung SD Inpres” dibangun di mana-mana, kurikulum pendidikan dinasionalisasi, diseragamkan, dan tujuan pendidikan diorientasikan sepenuhnya kepada penguasaan keterampilan ekonomis-produktif8 agar peserta didik bisa siap kerja di sektor-sektor industri yang memang sedang tumbuh pesat waktu itu. Masyarakat digiring untuk memasuki sekolah-sekolah formal atas nama program pemberantasan buta huruf.
Perubahan ini membawa konsekuensi yang sangat besar dalam kultur pendidikan masyarakat. Bersekolah di sekolah formal, dan memperoleh ijazah lantas dianggap sebagai satu-satunya tiket untuk bisa hidup di lingkungan yang serba modern, dan serba nasional. Anak-anak petani lari dari desa, bersekolah, mencari kerja ke kota-kota besar, dan meninggalkan sawah ladang milik moyang mereka. Tinggal di desa dan mempelajari lingkungan melalui metode-metode pendidikan berbasis komunitas yang tersedia melimpah di lingkungan asal mereka dipandang sebagai bukan sesuatu yang menarik. Pada gilirannya, meskipun praktek-praktek pendidikan berbasis masyarakat tersebut masih berlangsung, intensitasnya memudar, tergantikan oleh sekolah-sekolah formal.
Ternyata, cita-cita pemerintah untuk memberantas buta huruf dan mewujudkan masyarakat yang cerdas dengan cara menyediakan berbagai fasilitas dan program pendidikan formal ternyata tidak cukup dan tidak sepenuhnya tercapai. Rendahnya akses pendidikan untuk masyarakat perdesaan, perempuan dan anak-anak perempuan, disparitas gender, terus menurunnya kualitas pendidikan adalah beberapa masalah pendidikan yang masih belum juga terpecahkan. 9
Atas dasar itulah, sebagaimana sudah disebut di awal tulisan ini, pemerintah mau bertobat dengan melakukan sejumlah perubahan di sektor pendidikan nonformal itu.
Beberapa Temuan dan Analisis
1. Booming PKBM
Studi ini menemukan 60,24% berdiri pada tahun 1999-2001. Apakah ini suatu kebetulan? Tampaknya tidak. Tahun 1999-2001 adalah kurun waktu dimana gagasan dan kebijakan tentang broad based education mulai disosialisasikan oleh Depdiknas. Pada tahun-tahun ini juga Depdiknas mensosialisasikan adanya bantuan block grant bagi lembaga-lembaga pendidikan nonformal utamanya PKBM.
Jadi motivasi pendirian PKBM patut diduga kuat bukan didasari oleh pertimbangan kebutuhan atau kesadaran para pemrakarsanya akan perluasan hak-hak pendidikan masyarakat. Melainkan lebih sebagai respon untuk bagaimana membuat wadah untuk menampung kucuran dana itu. Yang penting ada wadah dulu, bagaimana praktek pendidikan akan dijalankan itu soal yang lain lagi.
2. Rendahnya Kepemilikan Komunitas
PKBM didominasi oleh pegawai negeri. Orang-orang yang pekerjaan utamanya menjadi tenaga lapangan dikmas, penilik, dan guru mendominasi kepengurusan baik di tingkat ketua (53,68 %) maupun sekretaris (56,5 %) PKBM.
Yang juga menarik adalah ada sejumlah profesi rangkap. Guru yang notabene sudah mendapatkan gaji dari pekerjaan mengajarnya di sekolah formal ikut terlibat dalam kepengurusan PKBM (21,73 % pada posisi ketua, dan 27,53 pada posisi sekretaris).
Apa artinya? Artinya, menguatkan temuan pertama, pendirian PKBM patut diduga kuat diprakarsai oleh orang-orang yang mempunyai akses informasi cukup besar terhadap kebijakan-kebijakan baru pendidikan, termasuk didalamnya tatacara mengakses block grant dan semacam itu. Atau sekurang-kurangnya informasi tentang hal ini lebih banyak tersebar di lingkaran terbatas, yaitu “orang-orang dalam” Depdiknas.
Gejala ini diperkuat dengan siapa yang mengelola atau bentuk organisasi PKBM. Sebanyak 56,5 % PKBM dikelola oleh Yayasan -yang notabene bentuk organisasi yang kepemilikannya berada di tangan segelintir orang. Di luar itu juga menunjukkan sebagian besar PKBM masih berbasis kelembagaan, belum berbasis masyarakat.10
3. Rendahnya Relevansi program dengan Kebutuhan masyarakat
Program-program PKBM umumnya adalah “program-program paket” yang sudah distandardisasi, seperti Keaksaraan Fungsional, Paket A, Paket B, Paket C, Beasiswa, Kejar Usaha dan lain-lain serupa itu. Program-program ini memang program yang disarankan untuk dilakukan oleh PKBM jika ingin mengakses dana subsidi BBM.
Cukup banyak juga materi-materi belajar tentang keterampilan. Tetapi hampir semuanya jenis-jenis keterampilan yang berorientasi teknis-produktif. Dan, semua program, baik paket maupun keterampilan tersebut jauh sekali hubungannya dengan potensi desa/daerah yang 76,8 % merupakan desa/daerah pertanian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar